Pantai Ngunggah, yang mempesona di barat Gunungkidul

Pantai Ngunggah, yang mempesona di barat Gunungkidul

Berbicara masalah perpantaian di Gunungkidul, sudah pasti hanya pantai itu-itu saja yang trending. Sebutlah pantai Baron, Kukup, Krakal, Sundak, Drini, Pok Tunggal, Nglambor, Wediombo, atau yang ngehits pantai Pulang Syawal yang kini diklaim menjadi pantai Indrayanti. Namun dibalik hiruk pikuk pantai-pantai tersebut, kecamatan Panggang, yang juga jauh dari area pantai mainstream, ternyata memiliki “permata tersembunyi” di desa Giriwungu. Adalah pantai Ngunggah, sebuah pantai yang sangat tersembunyi dan terpencil hingga orang tak banyak tahu, kecuali kalian yang suka blusukan. Lupakanlah es kelapa muda atau payung warna-warni di tepi pantai, karena di pantai Ngunggah tak ada apapun kecuali pasir dan bebatuan. Tak ada pula semenit berjalan dari parkiran ke pantai karena kalian harus trekking menuruni bukit bersemak belukar sepanjang kurang lebih 300 meter menuju pantai. Namun jerih payah kalian akan terbayar dengan keindahan dan kealamian pantai Ngunggah, yang tersembunyi di kecamatan Panggang.

Setelah mengunjungi pantai Nglangkap di Saptosari beberapa waktu lalu, Dolanmaning sempat berpikir tentang pantai lain yang super mblusuk alias ultra tersembunyi di Gunungkidul. Kami yakin, di kabupaten ini masih banyak pantai-pantai tersembunyi yang belum banyak tersentuh manusia.

Berawal dari melihat peta google (selalu) untuk mencari pantai-pantai di sisi barat Gunungkidul, Dolanmaning menemukan pantai Ngunggah di kawasan kecamatan Panggang. Panggang yang terletak di pesisir sisi barat Gunungkidul mungkin tak sekondang Tepus atau Girisubo, tapi ternyata kecamatan yang bernama unik ini memiliki satu spot menarik yang membuat kami penasaran.

Beberapa blog para penggemar blusukan ternyata sudah mengupas lokasi ini dan mereka sudah kemari pada tahun sebelumnya. Setelah membaca informasi di blog-blog tersebut, bisa disimpulkan, pantai Ngunggah memang sangat menantang untuk dikunjungi.

Apasih yang membuat pantai Ngunggah bagus untuk dikunjungi? Pertanyaan ini selalu menarik untuk dilontarkan karena puluhan pantai di Gunungkidul lebih mudah diakses dari pada pantai ini. Mengunjungi pantai Ngunggah adalah sebuah kepuasan untuk menemukan sebuah keindahan yang tersembunyi yang tentunya masih alami dan tak ada komersialisasi aji mumpung.

Bagi kalian pecinta alam, pantai Ngunggah bisa menjadi destinasi kemah yang tidak biasa. Lupakan pantai Jungwok, Greweng, Wohkudu, Peyuyon atau pantai Torohudan, kalian bisa mencoba kemah di Ngunggah yang masih alami.

Perempatan Panggang (foto Google)

Menemukan pantai Ngunggah sebenarnya tak sulit namun juga tak begitu gampang. Kami yang berangkat dari Jogja via Imogiri, Siluk, dan sampai di perempatan Panggang, belok ke kanan ke arah Parangtritis. Jalur ke Parangtritis ini disebut Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS). Sekitar 3 km dari situ kalian akan menemukan pertigaan jalan dusun setelah SDN Pejaten di kiri jalan. Pejaten Panggang, bukan Pejaten Pasar Minggu Jakarta ya 😀

Di pertigaan ini sudah ada plang kecil bertuliskan ‘Pantai Ngunggah’, silahkan belok ke kiri dan menyusuri jalan beton menuju ke pantai. Banyak persimpangan di dalam kawasan dusun dan sebaiknya bertanyalah ke penduduk untuk lebih jelasnya.

Perjalanan menuju pantai Ngunggah tak melulu melewati jalan beton karena jalan berganti jalan tak beraspal tak berbeton alias jalan tanah berbatu. Berhati-hatilah saat melewati jalan ini terutama di musim hujan karena licin sekali. Beberapa titik jalan memiliki tutunan curam dengan permukaan batu yang membuat perjalanan semakin menantang terutama untuk sang kuda besi. Jalan sempit menuju ke pantai sepertinya tidak memungkinkan untuk mobil.

Jalan menuju pantai Ngunggah

Setelah berkendara sekitar 4 kilometer dari pertigaan Pejaten, akhirnya kami sampai di sebuah gubug berlatar belakang pemandangan laut nan indah. Gubug ini lah tanda jika pantai Ngunggah sudah dekat. Dolanmaning sempat berpapasan dengan beberapa local youths dan bertanya arah ke pantai. Ternyata mereka juga baru saja dari pantai Ngunggah. Mereka pun menyarankan untuk memarkir motor di gubuk itu atau bisa juga dibawa ke batas jalan setapak menuju pantai. Salah satu dari pemuda lokal tersebut berpesan agar hati-hati karena trekking ke pantai lumayan jauh dan licin.

Oke! Kami tidak parkir di gubug dan memilih untuk memarkirkan si Sinchan di dekat jalan setapak supaya tidak menambah rute jalan kaki (dari gubug) hehehe. Dan petualangan pun dimulai setelah kami meninggalkan Sinchan.

[temukan dokumentasi video perjalanan ke Ngunggah di bawah ini:]

Jalan setapak terlihat coklat tua karena tanah sudah terguyur hujan. Semak-semak terlihat meninggi nan hijau tanda musim hujan sudah menyapa bumi Gunungkidul. Jauh di ujung timur terlihat tebing besar dan di bawah tebing itulah pantai Ngunggah berada.

Semakin jauh berjalan, semakin tinggi semak-semaknya. Lengan pun berasa gatal-gatal dibuatnya. Kontur jalan setapak yang menurun membuat medan menjadi licin, maka dari itu kecapatan jalan tidak bisa buru-buru karena semak dan licin.

Sekitar 100 meter berjalan, kami menemukan persimpangan dan pantai Ngunggah berada di jalur kiri. Setelah itu, jalan semakin curam turun dan tiba di sebuah perosotan alias jalan super licin. Untungnya di situ ada rumpun bambu yang bisa kami manfaatkan untuk berpegangan sambil berseluncur di atas tanah licin. Kami pun harus melewati jalan ini lagi saat pulang. Siiip!

Akhirnya suara ombak pun terdengar dan aroma laut tercium harum. Di balik semak terlihat batu-batu kecil berwarna putih bercampur pasir putih tanda kami sudah sampai di pantai. Pantai Ngunggah, ini lah yang dicari. Sepi. Ombak. Air. Pasir. Batu. Karang. Ngunggah. Benar-benar hanya pantai tanpa pejalan.

Bebatuan di pantai Ngunggah

Hamparan batu putih lebih mendominasi pemandangan di pantai yang tak begitu lebar namun lumayan luas. Beberapa spot terlihat memiliki hamparan pasir dan membuat Ngunggah sungguh unik dengan batu putih dan pasirnya.

Di sisi kiri dan kanan tebing nan tinggi seperti kebanyakan pantai-pantai di Gunungkidul. Siang menjelang sore itu ombak masih lumayan tinggi meskipun seharusnya sudah mulai surut. Sambil menunggu surut, Dolanmaning menjelajahi sisi timur pantai yang seperti tertutup reruntuhan tebing. Nongkrong di atas batu sambil menikmati ombak seperti menonton konser full string orchestra Vivaldi Winter. Benar-benar sesuatu yang membuat Dolanmaning betah piknik 😀

Seorang nelayan tampak berkemas pulang setelah memasang jebakan lobster. Rupanya bulan-bulan ini sedang musim lobster.

Dari sisi timur pula, Dolanmaning melihat secuil pantai kecil di bagian barat Ngunggah yang terpisah tebing. Pantai kecil itu bisa diakses dengan cara melipir  di bawah tebing yang tertutup air dan ombak. Jika laut surut, tentunya lebih mudah ke situ.

Sisi barat dengan tebing dan secuil pantainya

Karena sepi dan alami, sekadar ngobrol dengan teman-teman sambil melihat ombak di sini bakalan seru. Batu-batu putih yang berserakan di Ngunggah pun seperti karya seni instalasi yang sengaja di pasang di pantai dan kalian juga bisa duduk-duduk diatas batu-batu itu.

Saran dan pesan

Waktu yang tepat ke sini sebenarnya saat kemarau karena waktu Dolanmaning  ke sini (November 2017) Yogyakarta sedang memasuki musim hujan. Siang menjelang sore hari menjadi waktu yang pas untuk mantai di Ngunggah sembari menunggu laut surut dan bisa digunakan untuk main air dan mengeksplore lebih banyak.

Tak ada warung atau toilet di sekitar pantai Ngunggah. Jadi silahkan dikondisikan untuk membawa bekal secukupnya. Tidak ada parkiran resmi juga, jadi silahkan membawa kunci rangkap untuk mengamankan si kuda besi kalian.

Disarankan untuk meninggalkan pantai sebelum gelap (kecuali jika kalian kemah) karena jalur kembali ke atas lumayan sulit dan pastinya lebih sukar jika gelap.

Jaga sopan santun dan jagalah kelestarian destinasimu.

Content Protection by DMCA.com

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: