Menikmati Setting Jurasik di Curug Surodipo
Langkah kaki ini belum berhenti mendaki bukit kecil yang dihiasi dengan kebun kopi. Siang itu, mentari lumayan terik menemani kami namun hijau lembah dan pemandangan nan indah tak membuat kami surut untuk menggapai destinasi yang kami cari. Perbukitan tampak seperti bukit purba di jaman jurasik. Beberapa saat berjalan, kami tiba di sebuah pelataran bukit yang bak teras menyajikan panorama khas perbukitan kabupaten ini. Dari sini juga akhirnya yang kami cari terlihat. Bagai terselip di balik bukit yang tampak angkuh menyimpan cerita pergantian waktu, sang raksasa berwarna putih tak bisa menyembunyikan dirinya siang itu. Dan asa semakin membuncah untuk menemuinya dari dasar lembah hijau. Siang itu kami bertemu sang raksasa yang dikenal dengan nama Curug Surodipo. Saking indahnya, kata-kata pun susah untuk melukiskannya.
Berawal dari perjalanan panjang dari Yogyakarta menyusuri jalan raya Magelang lanjut Secang dan akhirnya Dolanmaning dan seorang sobat dolan akhirnya sampai di negeri tembakau van Java bernama Temanggung. Sebuah tengara besar di alun alun menyambut siapa saja yang melewatinya dengan tulisan “Temanggung Kota Tembakau”. Namun kami tidak mencari tembakau karena dibalik pertembakauan, kabupaten ini memiliki hidden paradise yang sangat eksotis dan menakjubkan.
Temanggung sendiri sebenarnya bukanlah nama yang asing bagi kalian para pendaki karena kabupaten ini adalah pekarangan rumah eyang Sumbing dan eyang Sindoro. Ya, dua nama yang disebut barusan adalah dua gunung yang mengapit Temanggung dan menjadikannya berudara sejuk dan tentu saja berpanorama indah.
Topografi Temanggung yang berbukit-bukit tak hanya menyajikan panorama nan indah tapi juga menuntut konsentrasi penuh dalam berkendara, baik motor ataupun mobil.
Perhentian pertama kami di Temanggung adalah Rest Area Kledung yang menyajikan panorama Sumbing dan Sindoro di satu tempat. Meskipun agak keluar dari jalur utama kami ke Surodipo, asa untuk melihat panorama Sumbing siang itu cukup kuat untuk membetot gas si Sinchan dan menuju ke gardu pandang. Tampaknya eyang Sumbing pun mengerti keinginan kami dan siang itu meski awalnya berawan, gunung Sumbing tampak full view dengan langit nan biru dan sedikit awan. Sungguh pemandangan yang sangat elok. Meski demikian, eyang Sindoro tidak menampakkan dirinya karena ia berselimut awan dan kabut tebal.
Sambil istirahat setelah sekitar 2 jam di atas motor, kami pun ngopi di salah satu warung sambil menikmati pemandangan. Secangkir kopi Arabica full wash khas Ploso Temanggung cukup mantap siang itu. Sekadar info, kabupaten Temanggung sebenarnya tak hanya melulu tembakau, karena kopi arabika dan robusta tumbuh subur di sini.
Sejenak di rest area, kami bergegas menuju ke Wonoboyo, atau sebelah barat laut kota Temanggung. Mengandalkan Google Map kami pun diarahkan ke jalan alternative menuju air terjun melewati pedesaan yang kadang berupa jalan beton. Memang cukup memotong jarak tempuh daripada lewat jalur utama yang lumayan lebih jauh dan lama.
Akhirnya setelah menikmati pedesaan di kawasan Temanggung utara, akhirnya kami sampai di pintu gerbang kawasan wisata Curug Surodipo. Setelah membayar retribusi lima ribu rupiah per orang, perjalanan dilanjutkan dengan mendaki bukit tapi untungnya masih bisa naik motor. Hehehe.
Pemandangan pun semakin indah seiring bertambahnya elevasi saat motor semakin tinggi mendaki. Di kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara, ups, bukan ding. Di kiri kanan kami banyak pohon kopi yang sedang mulai berbuah. Kawasan ini merupakan salah satu penghasil kopi Java dan menjadi salah satu sumber penghasilan warga setempat.
Tak semuanya bisa digapai dengan motor, jalan pun berganti setapak sebagai akses utama ke curug. Sekitar 5 menit mendaki, kami sudah sampai di sebuah pelataran di atas bukit dimana dari sini mata dimanjakan dengan pemandangan lembah dan perbukitan yang indah.
Sayup- sayup terdengar gemuruh sang raksasa. Dari tempat kami berdiri terdapat percabangan jalan setapak, satu ke arah atas (kiri) dan satunya ke bawah (sebalah kanan). Tampaknya Curug Surodipo bisa dinikmati dari dua sisi, lembah dan bukit sekaligus.
Agar lebih dekat dengan sang raksasa, kami pun memutuskan untuk menuruni lembah terlebih dahulu sebelum nanti menikmati panorama curug dari atas. Jalan setapak menuju dasar lembah diwarnai hijau semak belukar dan diseberang sana bukit lain yang dipakai untuk bercocok tanam. Sekitar 5 menit berjalan akhirnya sosok curug Surodipo terlihat sangat …. Magnificent!
Mengalir deras (karena musim hujan) di atas tebing tinggi yang hijau membuat pemandangan seperti dalam sebuah set film Jurassic Park. Sangat-sangat wow bagi Dolanmaning, selama ini kami belum pernah menjumpai air terjun yang sangat indah di Jawa Tengah dan sekitarnya, bukan Tawangmangu atau Kedung Kayang, tapi Surodipo bisa dibilang rajanya air terjun di Jateng. Mungkin hanya kawasan Lumajang dengan Tumpak Sewu-nya yang bisa mengalahkan keindahan Surodipo di tanah Jawa. Meski indah atau cantik itu relatif, tapi bagi Dolanmaning Surodipo sangatlah indah.
Memasuki area utama di kaki air terjun, hembusan angin bercampur air menyambut kedatangan kami. Sepintas mirip-mirip steam cucian motor yang begitu kuat menghembus, hehehe. Surodipo sedang berduet dengan angin siang itu menyanyikan sebuah kidung di lembah jurasik.
Air terjun yang berketinggian konon sekitar 120 meter pada ketinggian 1125 MDPL ini begitu deras mengalirkan air dari angkasa. Sungguh keajaiban alam karena di atas perbukitan ada sungai dan mengalirkan air berdebit besar ke lembah. Maka dari itu warga setempat sebenarnya menamai air terjun ini dengan nama Curug Trocoh, yang dalam Bahasa Indonesia bisa diterjemahkan Air Terjun Bocor karena memang tampak seperti langit yang bocor dan mengalirkan air. Mungkin para Dewata dulu lupa membendung aliran sungai di nirwana sehingga air pun jatuh ke dunia menjadi Suradipa.
Mencoba berpose di bawah air terjun persis membuat Dolanmaning kuyup. Kurang dari semenit badan sudah basah terkena embun terbawa angin. Pun demikian dengan si fotografer yang harus berkucing-kucingan dengan angin agar kamera HPnya tidak tertutup embun.
Di salah satu sisi lembah terdapat gubug yang bisa digunakan sekadar untuk menikmati pemandangan curug dan sekitarnya. Curug Suradipa seperti berada di sebuah mangkuk raksasa yang mengelilinginya dan di satu sisi mengalir deras air terjun ke dasar mangkuk. Tebing-tebing batu cadas yang tampak angkuh berselimut lumut semakin memperkuat imagi kami tentang dunia jurasik 😀
Setelah beberapa saat bertemu sang raksasa Surodipo, kami melanjutkan perburuan foto ke sisi atas. Kami kembali ke persimpangan tadi dan mengambil jalur setapak di sebelah kiri untuk melihat curug dari atas.
Jalan setapak sempit di atas bukit yang sempit menjadi tantangan dan diperlukan kehati-hatian agar tidak terpeleset. Untung saja tidak jauh berjalan, kami tiba di panggung alam yang mempertontonkan keindahan Curug Trocoh yang susah dijelaskan dengan kata-kata, dan inilah foto-fotonya:
Di atas bukit ini sangat cocok untuk mengabadikan Surodipo dalam lensa, entah sekadar foto curug atau selfie. Puas rasanya melihat salah satu curug terindah di tanah Jawa, setidaknya kami harus mencari curug lain yang lebih indah agar bisa buat perbandingan setara 😀
Kawasan ini sebenarnya memiliki 5 anak curug yang mengalir di sungai yang sama, namun sore itu kami harus kembali ke kota Ojol Yogyakarta, sembari mampir ke curug kecil di dekat Surodipo bernama Curug Ponco Tunggal. Bersambung …
Pesan dan kesan:
Lokasi air terjun ini tidak susah dicari mengingat sudah ada di peta google. Lokasinya di Desa Tawangsari, Wonoboyo, Temanggung. Pilihan transportasi ke Temanggung tergantung kalian apakah dari Jogja atau Semarang, Wonosobo atau Magelang. Yang pasti bawalah bekal secukupnya saat mengunjungi Surodipo, terutama minuman. Sudah ada warung di dekat pintu gerbang masuk dan lumayan bisa buat alternative mengisi perut. Jaga kebersihan dan ketertiban ya.
Jogja, Temanggung, February 2018.