Sustainable Tourism: Menuju pengelolaan pariwisata yang lestari dan berkelanjutan
Dua tahun yang lalu, tepatnya bulan Desember 2012, saya mengunjungi pantai Pok Tunggal, Gunungkidul, yang waktu itu mulai dikenal oleh para pejalan dan sempat menjadi hits di lini masa. Bagaimana tidak, pantai ini berlokasi terpencil dan menurut saya tergolong indah karena pasir putihnya dan tentu saja keberadaan sebuah pohon yang sangat fotogenic bilamana difoto. Pohon ini adalah pohon Duras yang sudah lama tumbuh di pantai Pok Tunggal dan akhirnya menjadi ciri khas karena terlihat ganjil di tengan pasir pantai.
Baru-baru ini saya kembali ke Pok Tunggal untuk sekadar mantai. Hari itu adalah minggu sehingga kawasan Tepus tampak ramai oleh para pelancong. Selain dipungut retribusi PAD resmi, saya kaget karena ada belasan pemuda yang memaksa saya berhenti di pertigaan masuk Pok Tunggal dan meminta sumbangan sukarela. Jika namanya sukarela, tentunya tidak perlu memaksa berhenti bukan? Para pemuda ini sebagian besar nongkrong di pertigaan dan sebagian berjaga di jalan masuk ke Pok Tunggal sambil mengomando para pejalan untuk menyumbang. Saya tidak tahu untuk apa sumbangan ini namun keberadaan mereka sangat mengganggu karena memaksa pelancong untuk berhenti dan ‘menyumbang’.
Keterkejutan saya semakin membuncah ketika saya tiba di pantai. Dulu pohon Duras bertengger sendiri di antara pasir laut, sekarang tampak semrawut bercampur gubuk parkir dan lapak makanan/minuman. Walhasil, nuansa Pok Tunggal alami yang iconic sudah tidak ada sama sekali.
Memasuki lebih dalam ke kawasan pantai, saya kembali terkejut dengan meningkatnya jumlah warung dan gubuk parkir. Pemandangan pantai pun terhalang gubuk parkir tersebut. Dulu, hanya ada satu gubuk parkir dan akses ke pantai sangat leluasa tanpa terhalang gubuk parkir. Menjamurnya warung dan gubuk parkir dapat dilihat dari kacamata positifnya. Pok Tunggal makin mempesona hingga banyak pejalan berdatangan untuk menghabiskan masa di atas pasir putih. Penduduk dapat mengais rezeki dari kepariwisataan di sini.
Namun demikian, ada hal penting yang tampaknya dilupakan oleh pembuat kebijakan pariwisata dalam hal ini Dinas Pariwisata Gunungkidul. Berkaca dari kondisi Pok Tunggal atau pantai Pulang Syawal yang berganti nama menjadi Indrayanti, pengelolaan obyek wisata sudah seharusnya mengutamakan konsep berkelanjutan atau dalam Bahasa Inggris disebut Sustainable Tourism.
United Nations World Tourism Organization (UNWTO) menjelaskan bahwa sustainable tourism adalah:
“Tourism that takes full account of its current and future economic, social and environmental impacts, addressing the needs of visitors, the industry, the environment and host communities”
“Pariwisata yang memperhitungkan penuh dampak ekonomi, sosial dan lingkungan untuk saat ini dan masa depan, memperhatikan kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat (sebagai) tuan rumah”
Dalam lamannya, UNWTO secara singkat menjelaskan prinsip pariwisata berkelanjutan yang mencakup tiga prinsip utama. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia, prinsip-prinsip tersebut seperti berikut:
- Mengoptimalkan sumber daya lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan pariwisata, mempertahankan pentingnya proses ekologi dan membantu untuk melestarikan warisan alam dan keanekaragaman hayati.
- Menghormati keaslian sosial budaya masyarakat setempat, melestarikan warisan budaya mereka yang dibangun dan hidup, dan nilai-nilai tradisionalnya, serta memberikan kontribusi untuk pemahaman antar-budaya dan toleransi.
- Memastikan kelayakan operasional ekonomi jangka panjang, memberikan manfaat sosial ekonomi bagi semua pemangku kepentingan yang didistribusikan dengan adil, termasuk pekerjaan dan peluang kerja yang stabil serta layanan sosial untuk masyarakat setempat, dan membantu mengurangi kemiskinan.
Jelas sekali pada prinsip pertama dijelaskan mengenai hal kelestarian lingkungan dan alam. Bila obyek wisata tidak diatur dan ditata, maka sudah pasti akan semrawut dan karut marut. Kesemrawutan obyek wisata pernah terjadi di pantai Parangtritis dan pantai Kuta Lombok dimana pantainya dulu bercampur lapak dan aneka bangunan lainnya. Akhirnya saat sudah semrawut baru muncul kebijakan penertiban. Alangkah baiknya jika dapat mencegah dan merencanakan dengan seksama dan bijaksana daripada menertibkan yang pasti akan menimbulkan gejolak sosial. Pemerintah sebagai pemegang mandat untuk melestarikan alam sebaiknya bisa berkaca diri untuk tugas mulia ini.
Konsep berkelanjutan juga tak hanya melulu menyangkut alam, namun juga semua aspek pariwisata seperti kota, manusia dan budaya. Kota Jogjakarta lagi-lagi bisa menjadi contoh bagaimana pembangunan dan pengembangan pariwisata bisa berdampak pada tata kota, alam, sosial dan budaya. Beberapa waktu lalu sempat mencuat fenomena gerakan masyarakat berjudul “Jogja Asat” (Jogja kering tak ada air) sebagai sikap atas keringnya sumur warga di beberapa kampung. Fenomena sumur kering ini tak pernah terjadi sebelumnya meski di puncak kemarau dan peristiwa sekarang diindikasi karena keberadaan hotel-hotel baru di tengah pemukiman padat warga. Bom waktu bernama bencana sosial bisa meledak sewaktu-waktu bila pengelolaan pariwisata tidak dilakukan dengan sustainable.
Lebih lanjut, UNWTO menjelaskan bahwa pengembangan pariwisata berkelanjutan memerlukan partisipasi dari semua pihak terkait, serta kepemimpinan politik yang kuat untuk memastikan partisipasi yang luas dan membangun konsensus. Mencapai pariwisata berkelanjutan merupakan proses yang berkesinambungan dan membutuhkan pemantauan terus menerus atas dampak, perkenalan langkah-langkah pencegahan dan / atau ukuran-ukuran perbaikan bila diperlukan.
Pariwisata berkelanjutan juga harus mempertahankan kepuasan tinggi wisatawan dan memastikan pengalaman yang berarti bagi para wisatawan, meningkatkan kesadaran mereka tentang isu-isu keberlanjutan dan mempromosikan kegiatan pariwisata berkelanjutan di antara mereka.
Tampaknya pantai Pok Tunggal dan Pulang Syawal hanya contoh kecil dari pengelolaan pariwisata di negara ini. Dolanmaning yakin di daerah lain juga terjadi karut-marut pengelolaan wisata yang mengorbankan alam dan lingkungan serta tidak memberdayakan masyarakatnya.
Semoga menteri pariwisata yang baru memahami konsep ini dan tidak hanya memasarkan pariwisata saja, namun yang utama adalah membuat sebuah sistem dan model pariwisata berkelanjutan.
Salam lestari!
Referensi:
http://sdt.unwto.org/content/about-us-5
http://news.liputan6.com/read/2087476/air-sumur-kering-warga-mandi-pakai-tanah
http://krjogja.com/read/236947/sumur-asat-warga-gowongan-mengadu.kr
https://antitankproject.wordpress.com/tag/jogja-asat/
https://wargaberdaya.wordpress.com/2015/01/10/14012015-melihat-yogyakarta-lewat-belakanghotel/
http://lomboktoday.co.id/20131020/pemilik-cafe-dan-restoran-di-kuta-tolak-relokasi.html
http://jogja.solopos.com/baca/2009/04/27/puluhan-pedagang-parangtritis-ditertibkan-132071
http://satpolpp.bantulkab.go.id/berita/20-penertiban-lapak-lapak-di-sepanjang-pantai-parangtritis