
Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Dari depan pintu rumah terlihat di sebuah ruangan kecil dibawah tangga, sesosok sedang duduk mengetik dan ditunggui oleh sosok yang lain. Mereka tampak serius memperhatikan mesin ketik, tampaknya ketikan itu menyangkut perkara luar biasa besar. Dua sosok tersebut adalah patung penggambaran Sayuti Melik dan BM Diah yang diperintahkan oleh Bung Karno untuk mengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan RI. Dari rumah ini, lembaran baru negara ini dibuka dan nasib bangsa ini ditentukan, yaitu merdeka atau terjajah.
Sepintas lalu, bangunan ini tampak seperti rumah biasa namun bergaya eropa, maklum lokasinya di Menteng, Jakarta Pusat, yang dulu menjadi kawasan tempat tinggal orang belanda yang berada di Batavia. Inilah rumah perumusan Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, saksi bisu sejarah besar Republik Indonesia dalam merengkuh kemerdekaannya. Rumah ini dulunya ditinggali oleh seorang perwira jepang bernama Laksamana Muda Tadashi Maeda, atau yang dikenal sebagai Laksamana Maeda. Ia adalah kepala penghubung angkatan laut dan angkatan darat tentara kekaisaran jepang yang mempersilahkan rumahnya untuk digunakan untuk merumuskan naskah Proklamasi.

Museum Perumusan Naskah Proklamasi, rumah ini selanjutnya disebut, terdiri dari dua lantai, lantai pertama adalah lokasi utama perumusan naskah. Dimulai dari sebelah kiri adalah ruang duduk atau disebut ruang pertama (sesuai denah museum). Di ruang pertama ini, Maeda menerima Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Soebardjo sekembalinya dari Rengasdengklok. Rencana awal Bung Soebardjo adalah menggunakan Hotel Des Indes atau Hotel Indonesia, namun karena terlalu larut, akhirnya perumusan dilaksanakan di rumah ini atas jaminan keamanan dari Laksamana Maeda.
Menjelang dini hari pukul 03.00, tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Soebardjo memasuki ruang makan dan duduk di meja makan panjang. Bung Karno duduk di tengah dan Bung Hatta di sebelah kanannya, sedangkan Bung Seobardjo di sebelah kirinya. Bung Karno memegang pulpen dan mulai menuliskan konsep Naskah Proklamasi sedangkan Bung Hatta dan Bung Soebardjo menyumbangkan pemikirannya secara lisan.

Saat mereka mengkonsep Naskah, di ruang tamu rumah, sebanyak 26 tokoh muda pergerakan nasional dari Seluruh Indonesia menunggu hasil perumusan Naskah (total ada 29 tokoh yang ada di rumah Maeda saat perumusan termasuk Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Soebardjo). 29 tokoh yang hadir di Rumah Maeda tersebut adalah sebagai berikut:

Setelah merumuskan naskah dan dituliskan di atas selembar kertas (atau disebut juga Naskah Proklamasi Klad), Bung Karno membacakan naskah di depan para tokoh pergerakan yang sudah tidak sabar mendegarkan. Bung Karno membacanya beberapa kali dan pelan-pelan, sesudah itu beliau bertanya kepada hadirin apakah setuju atau tidak. Para hadirin pun bersatu memekikkan kata setuju.
Peristiwa di ruang tamu rumah Maeda ini juga mencatatkan sejarah karena sempat timbul perdebatan mengenai siapa yang mendantangani naskah Proklamasi ini. Adalah Soekarni, yang selanjutnya maju dari kerumunan dan dengan lantang berkata, “Bukan kita semua yang hadir di sini, harus mendantangai naskah, cukup dua orang saja manandatanganinya atas nama rakyat Indonesia, yaitu Soekarno dan Hatta.” (dikutip dari keterangan di Museum) Usul itu pun diterima hadirin dengan suka cita dan tepuk tangan.

Setelah para tokoh sepakat, Bung Karno memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetiknya dan menyempurnakan ejaannya. Sayuti mengetik naskah proklamasi tersebut di bawah tangga yang dahulu adalah dapur rumah Maeda, didampingi oleh BM Diah. Naskah ketikan inilah yang dibaca oleh Bung Karno saat memplokamirkan kemerdekaan Indonesia di kediamannya, Jl. Pegangsaan Timur No 56 Jakarta Pusat, yang sekarang adalah Museum Proklamasi. Naskah ketikan ini selanjutnya disebut sebagai Naskah Proklamasi Otentik yang ditandatangai oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wakil Bangsa Indonesia.

Uniknya, Bung Karno dan Bung Hatta menandatangani Naskah Otentik ini di depan ruangan (dapur) tempat Sayuti mengetik, tepatnya, di bawah tangga, yaitu di atas sebuah piano. Hingga sekarang, piano itu masih ada pada posisi yang sama seperti saat dua Proklamator menandatanganinya.
Lantai dua museum terdiri dari beberapa ruangan yang berisi poster foto dan keterangan mengenai perjalan Bangsa ini menuju Proklamasi dan usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan. Dari pembentukan PPKI, BPUPKI hingga peristiwa-peristiwa pasca kemerdekaan. Seperti kita ketahui, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, belanda masih berusaha untuk menguasai Indonesia dan tidak mengakui kedaulatan Indonesia.
Berbagai foto dan tulisan di lantai 2 museum mencatat peristiwa berdarah maupun diplomasi yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan. Sejarah mencatat bahwa usaha diplomasi pemerintah di level internasional dilakukan sebanyak empat kali, yakni Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), Perjanian Roem-Royen (1949) dan terakhir adalah Konferensi Meja Budar di denhag, belanda, pada 23 Agustus – 2 November 1949 yang membuahkan penyerahan kedaulatan Indonesia oleh kerajaan belanda kepada Republik Indonesia Serikat.
Penyerahan kedaulatan sendiri dilakukan pada 27 Desember 1947 di Jakarta melalui upacara Penandatangan Pengakuan Kedaulatan dimana pemerintah Republik Indonesia Serikat diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan pihak belanda diwakili oleh AHJ Lovink sebagai wakil tinggi mahkota belanda.

Selain itu, di lantai dua juga ditampilkan beberapa pernak-pernik peninggalan para tokoh yang hadir dalam perumusan, seperti pakaian, kaca mata, dan patung setengah badan.
Akhir kata, museum ini bagi Dolanmaning sangatlah berharga dengan nilai sejarahnya. Dolanmaning sendiri merasa seperti ber-flashback ke jaman kemerdekaan saat membaca keterangan di museum dan melihat sendiri properti yang dulu digunakan para pahlawan pendiri bangsa ini. Mbaksist dan Masbro akan merasa lebih dekat dengan sejarah negara kita karena semakin memahami arti kemerdekaan dan perjuangan yang tak mudah dan penuh pengorbanan.
Museum ini cocok untuk siapa saja yang ingin mengetahui lebih detail mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dolanmaning juga sangat merekomendasikan museum ini untuk para generasi muda yang sudah lupa akan sejarah negara ini. Mengingat banyak sekali gerakan radikalisme sekarang yang ingin mengubah ideologi Negara Indonesia yang sudah susah payah didirikan oleh para pahlawan pergerakan yang berasal dari berbagai latar belakang etnis dan agama.

Meminjam kata-kata Bung Karno pada pidatonya yang terakhir sebagai Presiden RI di HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1966, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” atau yang kondang dengan singkatan Jas Merah. Merdeka!
Selamat Dolan Maning!
Keterangan:
Alamat Museum: Jl. Imam Bonjol 1 Menteng, Jakarta Pusat
Hari Buka: Tiap hari
Jam Buka: 08:00 – 16:00 (Senin – Jumat) dan 08:30 – 17:00 (Sabtu – Minggu)
Tiket retribusi: Rp. 2.000