Pantai Watu Lumbung, tempat sang ‘naga’ tidur

Pantai Watu Lumbung, tempat sang ‘naga’ tidur

Musim hujan telah memberi warna lain pada bumi Handayani yang selama ini terlihat gersang kala kemarau. November dan hujan telah ‘menghijaukan’ pegunungan Sewu yang membentang di sisi selatan pulau Jawa. Ya, pegunungan Sewu adalah nama perbukitan di pesisir selatan yang membentang dari kabupaten Gunungkidul, Wonogiri hingga Pacitan. Hijaunya Gunungkidul Handayani kali ini memberi warna lain pada perjalan Dolanmaning ke sebuah pantai yang lumayan tersembunyi namun tidak susah digapai. Kontur pantainya yang unik ditambah panorama alam yang aduhai membuat siapa saja akan terpesona melihat pantai ini. Adalah pantai Watu Lumbung di desa Balong, Girisubo, Gunungkidul, dengan sedikit pasir namun memiliki tengara (landmark) yang luar biasa.

Setelah menempuh perjalanan dengan kuda besi di atas jalan yang berkelak-kelok khas Gunungkidul, kami memasuki kawasan Desa Jepitu, Kecamatan Girisubo yang kondang dengan pantainya macam Jungwok dan Wediombo. Sebuah plang penunjuk arah setelah pemungutan retribusi menarik perhatian kami. Di situ terpampang tulisan “Gunung Batur dan Pantai Watu Lumbung” dengan anak panah penunjuk ke kanan. Pantai Watu Lumbung sendiri berada di desa Balong, Girisubo.

Sekitar satu kilometer dari jalan utama, kami menjumpai pertigaan dengan papan petunjuk ke pantai untuk belok ke arah kiri hingga sekitar 200 meter kemudian ada tanda kecil bertuliskan “Pantai Watu Lumbung” dan ke arah kiri lagi.

Jalan beton yang sudah mulai rusak berganti jalan tanah liat, dan sang hujan telah membuat permukaan tanah menjadi becek dan lengket. Si Sinchan dengan ban harian untuk jalan aspal pun tampak kesulitan menembus pekatnya tanah liat khas Gunungkidul, sesekali kawan dolan yang jadi joki si Sinchan harus berhenti dan berhati-hati meluncur di atas jalan yang sangat licin. Dolanmaning pun harus turun membatu Sinchan agat tidak selip (silahkan lihat videonya).

Hijaunya ladang bagai metamorphosis di bumi Gunungkidul karena jika kemarau, semua akan tampak kering. Memang dari dulu daerah Gunungkidul terkenal menjadi pelanggan kekeringan di saat kemarau. Kini semua menjadi ijo royo-royo.

Setelah bergulat dengan Sinchan, lambat laun, sebuah pemandangan yang menakjubkan berada di hadapan kami. Hamparan lembah berpadu dengan bukit hijau dan laut dibelakangnya.

Roda motor kembali bergerak menuju sebuah perhentian di sisi kiri, yang juga sebuah warung bertuliskan tempat parkir. Sebenarnya kendaraan bisa dibawa lebih jauh sehingga lebih dekat ke pantai, namun kondisi jalan yang licin dan berlumpur mengurungkan niat kami.

Pantai Pasewan

Disamping warung parkir tadi, terhampar lembah hijau dengan latar belakang lautan lepas. Sepotong pantai terlihat di antara lembah, dan itu adalah pantai Pasewan yang terletak persis di timur pantai Watu Lumbung.

Pantai Watu Lumbung masih harus ditempuh beberapa ratus meter lagi, melewati jalan setapak dan menuruni lembah. Perhentian pertama kami setelah sekitar 10 menit berjalan dari parkiran adalah semenanjung pantai Watu Lumbung. Dari atas semenanjung ini pemandangan spektakuler tersaji di depan mata. Pemandangan batu karang raksasa di atas laut yang menyembul bagai punggung naga yang sedang tertidur menjadi latar yang apik untuk berfoto.

sang ‘naga’ tampak di pantai 😀

Dari atas semenanjung ini pula terlihat pantai Wediombo di sisi timur dengan perpaduan panorama perbukitan hijau yang wow. Selanjutnya untuk menuju ke pantainya, kami harus menuruni lembah hingga akhirnya sampai di pantai Watu Lumbung.

Pantai Wediombo terlihat di sisi timur
Jalan setapak menuju pantai

Pantai ini sangat unik karena hampir tidak ada hamparan pasir seperti pantai pada umumnya. Bongkahan batu berserakan di sepanjang pantai. Selain itu, seperti yang disebutkan sebelumnya, ada keunikan lain adanya “naga tidur” di pantai ini. “Naga” itu adalah dua batu karang raksasa berbentuk seperti bukit yang berposisi menjorok ke laut. Jika air surut, batu datar ini dapat disinggahi.

sang naga bagai tertidur siang itu

Konon penamaan pantai ini mengacu pada batu besar yang berbentuk seperti lumbung padi. Batu lain yang tak kalah unik adalah sebuah batu pipih besar yang memiliki lubang di tengahnya. Batu ini terletak masih di dekat si naga. Warga setempat menyebutnya Watu Bolong atau dalam Bahasa berarti batu yang bolong. Anda bisa berpose di antara lubang ini dan jadilah foto anda dengan bingkai batu raksasa.

Batu Bolong di patai Watu Lumbung (foto; thejuicytrip.com)
Bebatuan di pantai Watu Lumbung

Saat pasang datang, lantai batu dan bebatuan di pantai akan tertutup air laut dan hanya si ‘naga’ raksasa yang menyembul dari permukaan.

Meski kawasan pantai Watu Lumbung kini semakin bersolek dan berwarung, jika dibandingkan beberapa tahun lalu, tapi pesona alam dan panoramanya tetap cantik.

Sekadar tips buat kalian jika ingin ke sini di musim hujan, hati-hati dalam berkendara di jalan akses menuju pantai karena jalan banyak yang rusak dan tak jarang kalian akan bertemu tanah liat yang licin.  Jika kalian datang pada hari kerja, jangan lupa siapkan bekal kudapan dan minuman secukupnya karena biasanya warung di sini tutup pada hari kerja dan buka pada akhir pekan/liburan.

Content Protection by DMCA.com

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: